Selamat
membaca, semoga bermanfaat :)
Sebagian
manusia tidak mampu mengelakkan dirinya dari sifat iri dan dengki. Dengki
kepada rekan yang baru naik jabatan, dengki kepada tetangga yang punya mobil
mewah, dengki kepada saudara yang anaknya sarjana dan dengki kepada seorang
ustadz yang memiliki murid yang pintar dan lain sebagainya.
Dan
sungguh tidak bisa dibayangkan, ketika abad globalisasi dan keterbukaan yang
telah mulai membuka pintunya akan semakin memberikan peluang untuk membuka
‘kran hati’ untuk saling mendengki. Karena ukuran globalisasi identik dengan
materi. Orang pun semakin tak bisa mengendalikan hati.
Rasa
dengki dan iri baru tumbuh manakala orang lain menerima nikmat. Biasanya jika
seseorang mendapatkan nikmat, maka akan ada dua sikap pada manusia. Pertama, ia
benci terhadap nikmat yang diterima kawannya dan senang bila nikmat itu hilang
daripadanya. Sikap inilah yang disebut hasud, dengki dan iri hati. Kedua, ia
tidak menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras
bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Sikap kedua ini dinamakan ghibthah
(keinginan). Yang pertama itulah yang dilarang sedang yang kedua diperbolehkan.
Beberapa
Kisah Al Qur’an tentang Orang-orang yang Dengki
Dalam
bahasa sarkasme, orang pendengki adalah orang yang senang melihat orang lain
dilanda bencana, dan itu disebut syamatah. Syamatah dengan hasad selalu berkait
dan berkelindan. Dari sini kita tahu, betapa jahat seorang pendengki, ia tidak
rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain
bergelimang lara. Allah Ta’ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya,
yang artinya: “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka,
dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran:
120)
Dengki
juga merupakan sikap orang-orang ahli Kitab. Allah Ta’ala berfirman, yang
artinya: “Kebanyakan orang-orang ahli Kitab menginginkan supaya mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, disebabkan karena
kedengkian (hasad) yang ada dalam jiwa mereka.” (QS. Al Baqarah: 109)
Kedengkian
saudara-saudara Yusuf kepada dirinya mengakibatkan sebagian dari mereka ingin
menghabisi nyawa saudaranya sendiri, Yusuf ‘Alaihis Salam. Allah Ta’ala
mengisahkan dalam firmanNya, yang artinya: “(Yaitu) ketika mereka berkata:
Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai ayah kita
daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat).
Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau
buanglah ia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu
tertumpah kepadamu saja dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
baik.” (QS. Yusuf: 8 – 9)
Terhadap
orang-orang pendengki tersebut Allah Ta’ala dengan keras mencela: “Apakah
mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah berikan kepadanya?”
(QS. An Nisaa’: 54)
Sebab-sebab
Dengki
Rasa
dengki pada dasarnya tidak timbul kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan
dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antar keluarga,
antarteman sejawat, antar tetangga dan orang-orang yang berde-katan lainnya.
Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan. Dan itu
tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada keduanya
tidak ada ikatan sama sekali.
Adapun
orang yang mencintai akhirat, yang mencintai untuk mengetahui Allah,
malaikat-malaikat, nabi-nabi dan kerajaanNya di langit maupun di bumi maka
mereka tidak akan dengki kepada orang yang mengetahui hal yang sama. Bahkan
sebaliknya, mereka malah mencintai bahkan bergembira terhadap orang-orang yang
mengetahuiNya. Karena maksud mereka adalah mengetahui Allah dan mendapatkan
kedudukan yang tinggi di sisiNya. Dan karena itu, tidak ada kedengkian di
antara mereka.
Kecintaan
kepada dunia yang mengakibatkan dengki antarsesama disebabkan oleh banyak hal.
Di antaranya karena permusuhan. Ini adalah penyebab kedengkian yang paling parah.
Ia tidak suka orang lain menerima nikmat, karena dia adalah musuhnya.
Diusahakanlah agar jangan ada kebajikan pada orang tersebut. Bila musuhnya itu
mendapat nikmat, hatinya menjadi sakit karena bertentangan dengan tujuannya.
Permusuhan itu tidak saja terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi
juga bisa terjadi antara atasan dan bawahannya. Sehingga sang bawahan misalnya,
selalu berusaha menggoyang kekuasaan atasannya.
Sebab
kedua adalah ta’azzuz (merasa paling mulia). Ia keberatan bila ada orang lain
melebihi dirinya. Ia takut apabila koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan
atau harta yang bisa mengungguli dirinya.
Sebab
ketiga, takabbur atau sombong. Ia memandang remeh orang lain dan karena itu ia
ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut apabila orang lain
memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk kepadanya. Termasuk dalam
sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih
Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian mereka itu dilukiskan Allah Ta’ala
dalam firmanNya, yang artinya: “Dan mereka berkata: Mengapa Al Qur’an ini tidak
diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif)
ini?” (QS. Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak
keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar,
tidak dari anak yatim atau orang biasa.
Sebab
keempat, merasa ta’ajub dan heran terhadap kehebatan dirinya. Hal ini sebagaimana
yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah dari rasul
Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah
kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka
mendengki-nya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut sehingga
mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?” (QS.
Al-Mu’minun: 34). Allah Ta’ala menjawab keheranan mereka dengan firmanNya, yang
artinya: “Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu
peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu
agar dia memberi peringatan kepadamu ?” (QS. Al A’raaf: 63)
Sebab
kelima, takut mendapat saingan. Bila seseorang menginginkan atau mencintai
sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak
terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu setiap kelebihan yang ada pada
orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara
sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah. Dalam hal ini bisa kita
misalkan dengan apa yang terjadi antardua wanita yang memperebutkan seorang
calon suami, atau sebaliknya. Atau sesama murid di hadapan gurunya, seorang
alim dengan alim lainnya untuk mendapatkan pengikut yang lebih banyak dari
lainnya, dan sebagainya.
Sebab
keenam, ambisi memimpin (hubbur riyasah). Hubbur riyasah dengan hubbul jah
(senang pangkat/kedudukan) adalah saling berkaitan. Ia tidak menoleh kepada
kelemahan dirinya, seakan-akan dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang
di pojok dunia ingin menandingi-nya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan
mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu mati saja, atau paling tidak
hilang pengaruhnya.
Sebab
ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah. Ia gembira jika
disampaikan khabar pada-nya bahwa si fulan tidak berhasil dalam usahanya.
Sebaliknya ia merasa sedih jika diberitakan, si fulan berhasil mencapai
kesuksesan yang dicarinya. Orang sema-cam ini senang bila orang lain
terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan
simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh padanya, agar ia tidak
jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi
kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang
lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi.
Hasad
atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak bisa
diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang dengki yaitu hendaknya kita
ketahui bahwa hasad itu sangat membahayakan kita, baik dalam hal agama maupun
dunia. Dan bahwa kedengkian itu setitikpun tidak membahayakan orang yang
didengki, baik dalam hal agama atau dunia, bahkan ia malah memetik manfaat darinya.
Dan nikmat itu tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena
kedengkian kita. Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari
Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada harus
menanggung sakit hati yang berkepan-jangan dengan tiada manfaat sama sekali,
apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih menanti?
Bahkan
kemenangan itu ada pada orang yang didengki, baik untuk agama maupun dunia.
Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh Anda, apalagi jika kedengkian itu
tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan dan lain
sebagainya. Dan balasan itu akan dijumpai di akhirat. Adapun kemenang-annya di
dunia adalah musuhmu bergembira karena kesedihan dan kedengkianmu itu.
Adapun
amal yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan
dari kedengkian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri hati kepada seseorang,
hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan baiknya, jika jiwa ingin
sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati, jika dalam hati kita
terbetik keinginan menahan nikmat pada orang lain maka hendaknya kita berdo’a
agar nikmat itu ditambahkan. Dan hendaknya kita teladani perilaku orang-orang
salaf yang bila mendengar ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi
hadiah kepada orang tersebut. Dan sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita
renungkan kata-kata Ibnu Sirin: “Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun
dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku menghasudnya
dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk
Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang
berjalan menuju ke Neraka.”
(Sumber
Rujukan: Al Qur’an)
Disalin
dari: Rasyid Mubarok Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info
Syukron Jazakumullah khair
Wassalamualykum wr.wb
0 komentar:
Posting Komentar